AKU TERLALU MENCINTAIMU UNTUK MENYAKITIMU



Karya Tri Cahyana Nugraha

Aku, hancur dalam kebimbangan. Ketidakpastian. Dan kesalahan. Waktu semakin larut. Rupa mulai memudar. Namun hati tetap tak menerima kepuasan.

Putra, itulah namaku. Seorang remaja egois yang menikmati hidup semaunya, mempermainkan wanita hanya demi kepuasan. Hidupku hanya untukku, itulah kata-kata yang slalu membimbing hari-hariku. Namun sebuah kejadian mengubah sikapku, aku berubah menjadi seorang lelaki yang hidup hanya untuk mencari uang. Bukan karena aku matrealistis, tapi lebih karena untuk menghilangkan kekecewaanku. Kehilangan seseorang yang dicintai karena ketidak beranianku untuk meyakinkan wanita itu. Ya, wanita itu menerima pinangan pria lain. Menerima, ketika aku meminta wanita itu untuk menunggu pinanganku. Meski awalnya berjanji menunggu, namun akhirnya wanita itu luluh oleh pinangan pria dari masa lalunya.

Bukan tanpa sebab wanita itu memilih pria lain. Semua berkat ketidak puasaanku. Aku yang selalu saja hidup dalam kenangan masa lalu, tak pernah puas akan cinta yang ia berikan. Sebuah kutukan, atau mungkin karena cinta dari masa laluku yang membuat aku tak bisa melupakannya. Terlalu sering aku menyakitinya, terlalu sering aku mendua di depan matanya demi mendapat kepuasan. Tapi dia tidak pernah berusaha untuk pergi dariku, meski aku tahu sebenarnya hatinya lelah.


Kini hari-hariku dihabiskan untuk mencari lembar-lembar rupiah. Sore hingga malam sepulang kuliah aku habiskan bekerja sebagai pelayan di sebuah cafe. Sedangkan akhir pekan aku habiskan untuk bekerja part time sebagai tukang cuci piring di sebuah rumah makan. Meski uang yang aku dapatkan hanya aku kumpulkan, tidak tau untuk kugunakan apa. Lama kelamaan kesibukanku mulai mengalihkanku dari keluarga dan sahabat. Aku mulai mengasing diri dari lingkungan, hidup dengan melakukan list kegiatan yang sama setiap hari.

Satu hari dalam perjalanan pulang dari pekerjaan, aku bertemu seorang wanita. Wanita yang dengan tubuh sedangku aku selamatkan dari gerombolan pengangguran dengan mulut sesak dengan dosa. Meski pelipis sobek oleh hantaman botol minuman keras, namun sepertinya itu sebanding dengan apa yang aku alami bersama wanita itu kemudian. Ya, sejak saat itu hubungan kami semakin dekat. Dimulai dari ucapan terima kasih dan saling bertukar nomor telfon, berlanjut dengan pertemuan yang rasionya bisa dibilang cukup bahkan sangat sering, karena ternyata kami satu kampus namun beda jurusan. Namanya adalah Dinda, mahasiswi jurusan seni musik. Kulit putih namun tidak pucat menghias di sekujur tubuhnya, rambutnya yang agak kecoklatan terurai hingga sebatas buah dada. Bibir tipis merah muda berpadu dengan lesung pipi yang menghias di kala ia tersenyum. Tubuhnya yang tinggi langsing membuat setiap pria yang melihatnya akan menelan ludah dan diam membatu tanpa sempat menanyakan namanya.

Hari demi hari kini aku lalui dengan bersamanya atau sekedar dengan pesan singkat dan telfon darinya. Akupun mulai merasakan getar-getar rindu yang mulai mekar menjadi cinta. Sedikit demi sedikit luka akan masa lalu mulai larut dalam senyumannya.

Lima bulan sudah aku jalani hariku bersamanya, tak terasa hubungan pertemanan kami semakin bahkan mulai sangat dekat. Aku mulai mengenal keluarganya. Bahkan Tio adiknya sudah sangat dekat denganku melebihi kedekatannya dengan Dinda. Bagai sepasang kekasih yang dimabuk kehangatan di hati. Kami sering menghabiskan waktu berdua untuk sekedar nonton atau makan malam di luar. Tanpa sadar malam minggupun slalu kami habiskan berdua. Namun kami menjalaninya tanpa sebuah pengukuhan bahwa kami sepasang kekasih. Aku pikir aku nyaman dengan dia, dan dia juga slalu bilang nyaman bersamaku. Jadi yasudah, kami jalani hubungan ini tanpa perlu ada sebuah status yang mesti diperjelas diantara kami.
Ndut hari ini kamu kerja ga ?. Ucapnya dalam bentuk pesan singkat.
Enggak, kenapa gitu ?
Oh engga. Aku mau ngajak kamu maen sama temen aku, ikut ya ?
Maen kemana ?
Udah ikut aja. Nanti juga tau sendiri kok hehe
Hm dasar, yaudah hayu.
Hehe, ntar ke rumah aku jam setengah lima ya.
Ya.

Sesuai janji akupun ke rumahnya tepat pukul empat tiga puluh. Rumah wanita yang mengalihkanku dari kesibukanku. Rumah wanita yang meredam luka lama di hatiku. Belum selesai aku parkirkan motor matic biru kesayanganku. Aku langsung disambut Tio adik lelakinya yang berusia 4 tahun.
“ooom putlaaaaaa, kemana ajaaaa. Jalang ke lumah, aku kan kangen”
“haha maaf ya, omnya sibuk. Udah makan belum kamu ?”
“udah tadi sama lendang sama kelupuk disuapin kak dinda”
“oh ka dindanya mana sekarang ?”
“tuh ada di kamal, dali tadi dandan telus mentang-mentang om putla mau kesini”
“oh ya haha”
“eh ada putra, silahkan masuk, tunggu dulu Dindanya masih di kamar” ucap ibu dinda yang keluar dari pintu samping garasi.
“eh iya bu makasih”

Setengah jam aku menunggu, akhirnya dinda keluar dari kamarnya. Kulihat ia mengenakan baju putih polos berbalut jaket jeans dipadu dengan rok hitam selutut. Melangkah dengan senyum khas terukir di wajahnya.
“hei kok bengong”
“eh maaf”
“udah siap ? berangkat yuk udah ditunggu”
“yuk”

Akupun mulai memacu motorku sesuai arah yang ditunjukkan oleh Dinda. Akhirnya setelah satu setengah jam kami sampai di sebuah villa yang cukup megah. Kulihat beberapa mobil dan motor sport terpakir, sepertinya hanya aku yang menggunakan motor matic saat itu. Kamipun melangkah ke halaman belakang villa tersebut. Ternyata malam itu ada sebuah acara seperti sebuah pesta yang diadakan teman sekelas Dinda untuk mempererat silaturahmi.
“yuk kesini”

Dinda pun menarik lenganku ke sebuah tempat dimana terdapat tiga orang wanita sedang berbincang.
“haai geeeeeeeng” sapa Dinda.
“hei Dinda, kemana ajaaa. Kok baru datang ?” tanya seorang wanita bertubuh agak gemuk.
“iyaaa, kita udah nunggu daritadi” tambah seorang wanita dengan kulit agak kecoklatan yang mengenakan jaket putih.
“eh maaf yaaa, biasalah macet hehe” jawab dinda.
“macet apa maceeeet haha. Loh kamu sama siapa ?” tanya wanita bertubuh gemuk tadi sembari melihat ke arahku.
“oh ya kenalin ini putra, siniii nduuuut” sambil menarikku yang membeku diterpa angin malam.
“hai aku andin” ucap wanita bertubuh gemuk.
“hai. putra” sambil menjabat tanganya.
“aku ria” ucap wanita yang mengenakan kacamata.
“hai. putra” kemudian menjabat tangannya.
“hai aku dini” ucap wanita berkulit coklat.
“hai. putra” menjabat tangannya.
Kemudian tanpa aba-aba mereka mulai bercuap-cuap, membicarakan segalanya. Dari masalah kuliah, teman, hingga pacar. Sesekali Dinda digoda temannya, karena mereka mengira aku adalah pacarnya. Sedangkan aku, hanya asik memakan kue yang berada di meja tepat disebelahku.
Akhirnya obrolan panjang mereka terputus oleh sambutan pembawa acara. Tanpa panjang lebar acara malam itu dimulai. Dari acara pemutaran video dokumenter kelas, games, penampilan band kelas hingga acara puncak, ucapan terima kasih dan pemberian cinderamata dari teman sekelas Dinda kepada dosen pembimbing dan beberapa pengurus kelas.

Selama kurang lebih lima jam acara itu berlangsung, selama lima jam pula Dinda memeluk lenganku erat. Meski perbincangan dan perhatiannya bersama teman-temannya, namun pelukannya tak pernah lepas dari lenganku, malah semakin erat. Pukul dua belas malam acara selesai, namun tak ada satupun dari mereka disitu beranjak pulang. Sepertinya mereka memutuskan untuk menghabiskan malam disana. Beberapa diantara mereka ada yang berduaan di dekat api unggun dengan pasangannya, sedangkan lainnya ada yang mulai menyalakan kembang api atau hanya sekedar memainkan beberapa putar lagu. Aku sendiri coba membaur dengan beberapa teman pria Dinda yang sedang bermain kartu.
“nduut” panggil Dinda.
“apa ?”
”lagi apa ?”
“lagi maen kartu, kenapa ?”
“ikut dulu yuk”
“kemana ?”
“udah ikut ajaa” sembari langsung menarik lenganku.

Kemudian dia mengajakku masuk ke villa dan langsung menuju lantai dua. Kamipun duduk di sebuah bangku yang menghadap langsung ke halaman belakang villa. Tanpa sepatah kata dia langsung memeluk lenganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Sesaat dia terdiam dalam posisi tersebut, sedang aku hanya membatu seperti patung tua yang tak bisa melakukan apa-apa.
“ndut” ucapnya menghempas keheningan diantara kami.
“apa ?”
“ga kerasa ya udah lima bulan ini kita deket”
“yap”
“aku masih ga nyangka pertemuan kita melalui perantara berandalan haha”
“iya ya, aku juga ga nyangka”
“kamu tahu, sejak kejadian malam itu aku ga pernah berhenti mikirin kamu. Aku sendiri gatau kenapa, awalnya aku pikir cuman kekaguman karna kamu udah nolong aku. tapi lama kelamaan rasa kagum itu mulai hilang, aku mulai lupa kejadian waktu malam itu. tapi gatau kenapa getaran di hati aku malah makin kenceng. Aku sendiri kadang suka senyum-senyum sendiri kalo inget kamu. apalagi kalo liat tingkah kamu yang polos. Ngegemesin haha ”
“hmm gombal” ucapku.
“ih tuh da kamu mah ya, diajak ngobrol serius slalu aja gini. Nyebelin dasar” gerutunya sambil mencubit perutku yang sedikit berlemak.
“eh iyaya maaf”
“hm dasar, nduut aku mau nanya ?”
“apaan ?”
“perasaan kamu ke aku tuh gimana sih ?”
“perasaan ?”
“iyaaaa kamu tuh suka ga sih sama aku.”
“aku ga suka sama kamu”
“ha ? .......oh”
“tapi aku cinta sama kamu”
“gombaaaaaaaaaaaal haha” sambil kembali mencubitku, namun kini pipiku yang menjadi sasarannya. Terlihat mukanya mulai memerah dengan senyum yang mulai melebar di bibirnya.
“eh iyaa beneer”
“hehe, dasar kamu iiiih.”
“kenapa ?”
“engga ah. hei”
“apa ?”
“kalo kamu suka aku kenapa kamu ga nembak aku ? padahal aku udah mancing-mancing”
“iya gitu ? masa ah ? kok aku gatau”
“iyaaa iiiih seriiiiing malah, kayak waktu dulu pas di taman, trus aku bilang enaknya kalo punya pacar. Trus kamu cuman jawab hm”
“oh”
“tuh da kamu mah, dasaaaaaaar” kembali mencubit pipiku.
“ih iyaya udaah”
“hm. Emangnya kamu gamau gitu meresmikan hubungan kita ?”
“ngeresmiin ? maksudnya ?”
“iyaaa kita pacaran ?”
“pacaran ? emang harus ya ?”
“iiih emang kamu ga takut gitu aku pacaran sama orang lain. Trus kita ga bisa berduaan lagi kayak gini”
“engga tuh”
“tapi aku takut”
“ya kamu jangan pacaran sama orang lain”
“iiiih bukan ituuu, aku takut kamu pacaran sama orang lain”
“aku sudah bukan pria yang mudah tergoda oleh wanita”
“tapi tetep aja aku takut.”
Suasana kembali hening, dia kembali dalam kebisuannya. Sedang akupun kembali mematung. Sejujurnya aku sangat ingin menjadi seseorang yang slalu di sampingnya, dengan sebuah status yang jelas. Bukan menggantung seperti ini. Berkali-kali akupun mencoba mengutarakan untaian kata yang sudah menjejal di hatiku. Namun semua slalu saja tersumbat di lidahku. Dia gadis baik, aku tak pantas memilikinya. Aku hanya akan melukainya. Tapi aku mencintainya, aku sudah bukan yang dulu. Aku pasti bisa mencintainya. Tapi apa aku bisa mencintainya jika masa laluku kembali padaku, apa aku bisa. Tapi tidak mungkin masa laluku akan kembali padaku. Dia akan membuat komitmen dalam sebuah ikatan berdasarkan agama. Dia tidak mungkin akan kembali. Bagaimana dengan masa lalu yang lain, apa kau yakin mereka tak akan kembali. Semua perdebatan itu slalu berkecamuk dalam diriku. Hatiku menginginkannya, namun pikiranku takut menyakitinya.

Lama tak kunjung bersuara, ternyata dia telah lelap dalam tidurnya. Pelan aku sandarkan kepalanya di pangkuanku. Kubuka jaketku dan kuselimuti bagian tubuhnya yang tak tertutupi. Pagi menjelang, mentari dengan angkuh mulai melenyapkan tiap sudut kegelapan.
“makasih ya udah mau nemenin aku kemaren”
“iya sama-sama. Aku pulang ya”
“iya hati-hati ya ndut daaah”
Sedikit demi sedikit aku mulai menghilangkan bayangan punggungku dari padangannya. Aku terlalu mencintaimu untuk menyakitimu. Itulah pesan terakhir yang kukirimkan padanya. Tanpa menunggu balasan aku patahkan sim cardku dan kuganti dengan yang baru. Pelan namun pasti aku mulai menghilangkan jejakku dari hidupnya, sesekali berpapasan namun aku slalu menghindar. Sebulan berlalu. Aku mulai kembali ke list kehidupanku, sedangkan dia kulihat sudah menemukan pria lain penggantiku. Di satu sisi aku senang dia tak terlarut dalam kepergianku. Namun di satu sisi aku sangat ingin kembali di sisinya.
Previous
Next Post »