KEDAMAIAN CINTA


Karya Sarah Willis

Cahaya matahari menerobos celah-celah jendela kamar gadis itu. Hangat nya sinar matahari menerpa tubuh gadis yang tergeletak di tempat tidur. Gadis itu mengenakan pakaian lusuh dan bau alcohol yang menyengat. Kamar tidur nya jauh dari kata bersih dan rapi. Gadis itu memakai anting di hidung nya dan gelang berwarna hitam. Terkesan seperti preman. Gadis itu bernama Dhisa. Dia selalu pulang larut malam. Setiap pulang pasti di baju nya tercium aroma alcohol. Ia berjalan sempoyongan menuju kamar nya, terkadang ia terjatuh tapi ia berusaha untuk sampai di kamar nya. Dulu ia adalah gadis yang pintar, baik, dan sopan tetapi tidak untuk sekarang. Kini semua bertolak belakang ia menjadi anak brandal, dan prestasi nya menurun drastis. Semua ini terjadi ketika ke dua orang tua Dhisa memutuskan untuk bercerai. Ia terpuruk dengan kejadian yang ia alami, broken home. Semenjak orang tua nya bercerai tak ada lagi orang yang peduli dengan nya. 

Gadis itu melampiskan semua kekecewaan nya pada hal-hal negative. Ia terjerumus pada pergaulan bebas. Narkoba, minuman keras, dan laki-laki brandal sekarang menjadi teman dekat nya. Orang tua Dhisa sibuk mengurus kehidupan mereka masing-masing, sampai-sampai anak semata wayang nya menjadi hancur. Dhisa kehilangan kasih sayang yang dulu selalu mengalir dari kedua orang tua nya. Jarum jam menunjukan pukul sebelas siang, matahari sudah berdiri gagah di langit. Perlahan gadis itu membuka mata nya, ia sedikit terkejut karena sinar matahari menerpa bola mata nya. Ia menggeliatkan tubuh nya. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur nya tetapi ia tak bisa menahan rasa pusing di kepala nya, ia terjatuh ke lantai. “Arggghh” Ia berteriak menahan rasa pusing itu. Gadis itu bangkit dan menuju toilet.
***

Ia meneguk kopi hangat yang ia buat sendiri, Gelas masih mengeluarkan uap panas. Sesekali ia meniup nya. Sosok lelaki tampan, tinggi, dan berkulit putih itu menghampiri Dhisa, saat akan memasuki koridor kampus. Lelaki itu bernama Ricky, ia salah satu dari banyak orang yang heran melihat perubahan terhadap diri Dhisa. Ia adalah kekasih Dhisa, tetapi nasib Ricky sangat malang, sekarang ia sudah tak di anggap apa-apa oleh Dhisa. “Dhis .. Dhisa” Suara yang halus itu keluar dari bibir lelaki itu. Dhisa menoleh kea rah sumber suara. “Kamu kemana aja tiga hari ini ?” Ricky bertanya sambil mengikuti langkah kaki Dhisa. “Bukan urusan mu” Jawab Dhisa singkat, tapi cukup membuat hati Ricky seperti tertusuk sembilu. Ia tak menyangka gadis yang dulu sangat perhatian pada nya, kini telah berubah. Ricky berhenti dan Dhisa berlalu meninggalkan lelaki itu. Ricky terpaku menatap Dhisa yang hilang di tikungan koridor. Gadis itu duduk di kursi panjang bercat putih di taman belakang kampus, terkadang mulut nya mengeluarkan asap.

Di tangan nya bertengger sepuntung rokok, dari arah belakang datang seorang lelaki memegang erat tangan Dhisa dan membuang barang berasap yang ada di tangan Dhisa. “Apa maksud mu?” Gadis itu menatap tajam ke arah Ricky. Ricky tak menjawab sepatah katapun, ia hanya menatap mata Dhisa. Pancaran mata yang telah berubah tak seperti dulu, setiap ia menatap mata itu ia akan merasakan kedamaian. Kini mata itu hanya melukiskan api kebencian. Dhisa pergi meninggalkan lelaki itu, dan Ricky masih berdiri terpaku di situ, hanya desiran angin dan gemersik flamboyan yang menemani nya. Sedangkan gadis itu mempercepat langkah nya, ia naik sebuah taksi berwarna biru muda. Satu jam kemudian ia sampai di rumah nya, jam yang melekat di tangan kiri nya menunjukan pukul enam sore. Ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan indah nya langit senja di luar sana. Hanya beberapa langkah dari pintu masuk, pandangan Dhisa tiba-tiba kabur dan lama kelamaan semua menjadi gelap. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil berwarna putih memasuki halaman rumah Dhisa. Seorang lelaki memasuki rumah itu, betapa terkejut nya ia saat melihat gadis itu tergeletak di lantai dengan menggenggam sebuah alat tes antibody HIV. Bagai peluru yang masuk dan bersarang di dada nya, ketika Ricky melihat dua garis berwarna ungu kemerah-merahan di alat test strip itu. “HIV positif” Ricky berkata dengan lirih. Ricky yang mengambil jurusan kedokteran di kampus nya langsung mengerti dengan apa yang di tunjukan alat tes antibody HIV itu. ***

Di luar rumah awan hitam menyelimuti langit, perlahan Kristal-kristal air mulai turun membasahi tanah. Malam itu langit gelap tak ada bintang yang menghiasi, sama seperti hati Ricky yang sakit. Bintang yang dulu selalu menghiasi hati nya kini sudah tak memiliki banyak waktu bersamanya. Suntikan narkoba yang menusuk di pergelangan tangan Dhisa empat minggu lalu meninggalkan keperihan yang teramat dalam. Kini virus itu telah menyatu dengan darah yang mengalir di tubuh Dhisa. Ricky tak kuasa menahan air yang keluar dari sudut-sudut matanya saat menatap gadis yang tertidur di atas sofa itu. Badan nya demam, salah satu gejala yang di timbulkan virus mematikan itu. Pagi yang dingin masih menyelimuti seantero kota Bandung. Awan putih masih manja menyelimuti langit. Embun yang masih bergantung di ujung dedaunan. Matahari masih malu untuk keluar. Udara dingin menusuk sampai ke tulang sum-sum Ricky. Perlahan ia membuka pintu dan hawa dingin masuk menyergap. Gadis itu masih udk terpaku di pojong kamar tidurnya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering dan tubuh nya tak henti berguncang karena menggigil. Ia meneguk susu hangat yang di buat Ricky khusus untuknya. Perlahan guncangan itu menghilang. Ia mengajak Dhisa ke teras depan rumah, di kursi panjang itu Ricky membelai rambut Dhisa. Angin yang berhembus sewajar nya menghempaskan rambut Dhisa yang terurai. “Mengapa kau lakukan semua ini?” Pertanyaan yang keluar dari bibir lelaki itu mengejutkan Dhisa. Diam sejenak, dan Dhisa menjawab. “Maafkan aku” Lagi-lagi angin sepoy mencandai dedaunan yang ada di halaman depan rumah Dhisa. “Semua telah terjadi” Suara lelaki itu terdengar kembali. “Aku menyesalinya” Kali ini suara Dhisa sedikit tercekat, dari mata nya yang layu mengalir air yang bermuara di dagu runcingnya. Tak lama kemudian turun Kristal-kristal air dari langit, seperti mengerti akan apa yang dirasakan Dhisa.

Kini pundak Ricky telah basah oleh air mata Dhisa. Dengan lembut Ricky mengapus air mata yang mengalir di antara mata indah Dhisa.
“Selama ini bukan maksud ku menjauh dari mu, apalagi menyakiti mu. Aku sadar aku bukan lah Dhisa yang dulu. Aku merasa aku tak pantas lagi untuk mu” Dengan terisak Dhisa menjelaskan semua nya. Air mata tak berhenti mengalir dari mata nya.
“Meskipun kau bukan Dhia yang dulu aku akan tetap menyayangi mu, kau tak boleh berfikir seperti itu !!” jawab Ricky penuh ketulusan.

Hujan berhenti, dan sang pelangi kini menemani. Dengan cahaya nya yang hangat, dan warna yang indah menemani Dhisa dan Ricky. Mereka berdua menatap indah nya pelangi. Dengan sayup-sayup Dhisa berkata “ I LOVE YOU RICKY” setelah itu mata Dhisa terpejam, dan ia tidur dalam kedamaian.
Previous
Next Post »