Si Cacat


Kembali ia berjalan tertatih. Menyeret separuh bagian tubuhnya dengan terpaksa. Ia merayap, memelas kepada hampir semua orang yang berlalu-lalang di sekitar jalan protocol ini. Perawakannya kumuh, amat kucel. Tak betahlah mata ini memandangnya berlama-lama. Dengan melasnya ia memita belas kasih dari orang yang lewat. Setengah memaksa, ia meminta beberapa nilai uang dari orang-orang sekitar. Tak tega benar jika melihatnya bertingkah seperti itu. Sungguh memancing rasa empati tiap individu di sekitarnya.


Keadaan kota kian gelap. Mentari perlahan meringkuh ke peristirahatannya sementara waktu. Keelokan langit sore tergambar indah pada cakrawala barat. Induk burung beterbangan menuju sarangnya, berharap buah hatinya puas akan mekanan yang telah dibawanya. Hiruk pikuk kota makin padat. Tiap insan berlomba untuk segera tiba di rumah dan menikmati ketenangan mandi dengan air hangat. Di sisi lain jalan protocol yang kian padat ini, tepat di pinggir jalan ini, sosok yang telah seharian memelas dan menyeret separuh tubuhnya itu mengambil duduk sejenak. Ia tersenyum puas. Bibir sumbing yang siang tadi ia tunjukan, tak tampak lagi. Perlahan ia mengambil sikap siap, dan berdiri sempurna. Sangat kontras dengan keadaan tubuhnya siang tadi. Ia melangkah normal, tak menyeret tubuhnya lagi. Dengan bangga ia menghitung jumlah uang yang ia dapatkan. “Dasar orang-orang bodoh! Mudah sekali untuk mengelabuhi mereka. Dengan begini aku akan kaya! Kaya…. Ya KAYA!!! Hahahahahaha…..!!!!” tawanya lepas. Penuh dengan ketamakan dalam dirinya.
“Wah, Bang banyak banget tuh fulusnya. Ngobjek dimana nih?”

“Eh ya iya lah, siapa dulu, Gue gitu!!! Hahaha!!” jawab Si Cacat sombong.

“Makanye lu lu pade mesti pake otak kalo ngobjek. Jangan Cuma asal minta-minta. Acting dikit kek. Pasang tampang melas gitu!! Pasti dah, bakal kasian liat muka lu pade. Bila perlu nih ye, air comberan elu siram ke badan lu!!! Makin bau, makin jelek, makin banyak duit!!!! Hahahahaha”, tutur panjang lebar Si Cacat, berlagak profesional dalam menipu.
“Bocah, dengerin gue ye… hidup entu cuman buat dapetin duit inget baik-baik, Cuma buat duit. Kagak lebih dari itu!!! Paham???”
“Paham, Bang!!!” jawab bocah-bocah jalanan hampir serentak.

Kehidupan jalanan memang terasa berbeda. Siapa yang kuat, dia ang berkuasa. Sangat persis dengan hukum rimba yang sering kita dengar dalam cerita-cerita fabel. Dan kini, Si Cacat bak dia atas angin. Ia menjadi seorang makelar dadakan di daerahnya. Semua karena uang haram yang ia dapatkan, bukan yang lain.

Seperti kecanduan, Si Cacat terus melakuakan penipuan dengan menjatuhkan harga dirinya. Kembali ia merayap, meronta, berharap belas kasih dari individu yang tengah berlalu-lalang di sekitar jalan protocol tempat ia mangkal. Serasa semua sudah habis hati untuk berempati kepadanya, kian hari makin kecil pula pendapatanya. Suatu ketika ia mulai geram. Saat mentari sudah makin membubung tinggi, tak satu keping uangpun masuk ke dalam gelasnya. Lewat satu orang, berbelas kasih dengan Rp200,00. Tak terima, ia berteriak “Dasar pelit Lu!!!”. “Awas Lu ya, gue sumpain lu jadi kere tau rasa Lu!!!” geramnya dalam hati.

Merasa tempat ia mangkal kurang strategis, ia pindah ke sisi lain jalan protocol yang sama. Tentunya dengan harapan mendapat pemasukan lebih. Pucuk dicita, ulam pun tiba. Bak ditimpa durian montong, selembar uang berwarna biru bertuliskan nominal Rp50.0000,00 masuk kealam gelasnya. Senang bukan kepalang Si Cacat. Tak pernah ia menerima uang sebesar itu. Bahkan penghasilan tertingginya pun, tak mencapai angka Rp50.0000,00. Ia berterima kasih kepada dermawan itu. Tentunya masih dengan gaya sumbingnya. Dimulai dari bagian bawah tubuh Sang Derma, berlanjut ke tengah hingga ke atas. Betapa terkejutnya Si Cacat. Sang Derma merupakan peyandang cacat. Ia berdiri dengan dibantu sebilah tongkat. Rambutnya telah beruban pula. Dengan senyum penuh keramahan, Sang Derma menyapa Si Cacat. “Semoga ini cukup untuk makan,” ujarnya singkat dan berlalu. Langkahnya tertatih. Namun raut wajahnya gambarkan ketegaran. Bak ditimpali rasa malu yang tiada habis, Si Cacat menangis. Ia terdiam. Lidahnya terasa kelu. Badannya gemetar. Per
lahan ia berdiri. Ia lepas perban-perban palsu di kakinya. Ia hapus noda-noda gambaran yang menyerupai borok di badannya. Air mukanya tampak geram, marah, malu. Marah akan dirinya sendiri. Geram akan segala ketamakannya. Malu akan sikap bodoh yang telah ia lakukan. Ia menangis. Ia menyesal. Dilihatnya seorang bocah perempuan kecil yang tengah mengamen. Dipanggilnya bocah itu. “Dek, ini buat kamu. Sekarang kamu pulang gih!!” ujar Si Cacat bijak. Ia menyerahkan selembaran Rp50.000,00 kebanggaannya beberapa menit yang lalu. “Aku bukanlah lagi Si Cacat bodoh. Aku tidak cacat. Sama sekali tidak. Harga diriku masih jauh lebih baik daripada ini semua,” tekad Si Cacat dalam hati, tulus. “Tuhan, maafkan semua kebodohanku dan ketamakanku ini. Sungguh aku telah sesat dibuatnya. Astaghfirullaha’adziim….. astaghfirullahal’aziim…. Astaghfirulahal’adziim…” sesal Si Cacat. Ia melangkah pergi meninggalkan markas besarnya. Langkahnya gontai. Airmata pun tak henti temani langkah-demi langkah yang ia jejaki.

Si Cacat telah jera. Ia telah lenyap dari muka bumi ini. Bukankah tangan di atas jauh lebih baik dari tangan di bawah?
“Setiap orang mampu membohongi orang lain dengan segala kepura-puraannya…… Namun, tiada satupun orang yang mampu membohongi hati nuraninya”  

Dikutip dari sebuah kisah di salah satu stasiun televisi swasta.
Previous
Next Post »