Karya Akral "Al-Khudry"
Akh, pokoknya hari ini aku harus bisa mengungkapkan semua perasaanku pada dia. Entah mengapa aku masih belum percaya diri untuk mengungkapkannya secara langsung. Bahkan sekarang
pun aku belum siap! Namun tekadku sudah bulat bahwa aku akan mengungkapkan isi hati dan semua perasaanku pada dia. Mungkin ini kedengarannya gila. Sudah lebih dari dua tahun aku mengenali dan bersahabat baik dengan dia. Kali ini, aku ingin mengubah statusku sebagai sahabatnya menjadi pacar untuknya. Ah, alangkah senangnya hatiku.
pun aku belum siap! Namun tekadku sudah bulat bahwa aku akan mengungkapkan isi hati dan semua perasaanku pada dia. Mungkin ini kedengarannya gila. Sudah lebih dari dua tahun aku mengenali dan bersahabat baik dengan dia. Kali ini, aku ingin mengubah statusku sebagai sahabatnya menjadi pacar untuknya. Ah, alangkah senangnya hatiku.
Hari masih dapat dikatakan pagi. Namun mentari yang bersinar cukup terang menghiasi pemandangan yang ganjil di taman kota ini. Tak biasanya, hari ini taman kota sangat sepi. Nyaris hanya aku yang mengunjungi tempat ini bila tidak ada sepasang kekasih, sepertinya, yang sedang bercinta. Ah! Indahnya dunia ini jika bisa merasakan hal seperti itu. Dunia serasa milik peribadi. Namun nampaknya sepasang kekasih yang sedang bercinta yang duduk tepat di bawah pohon beringin dekat dengan kursi santai yang aku duduki itu sama sekali tidak terganggu oleh diriku. Bahkan aku tidak dihiraukannya. Aku dianggap tiada oleh pasangan kekasih yang sedang bercinta itu.
Maka, untuk mengusir rasa grogi karena sejak pukul delapan pagi tadi aku tengah menunggu sang pujaan hati, aku tatap kembali setangkai bunga mawar yang masih segar itu. Alangkah harumnya. Serasa mencium parfum yang sering digunakannya. Aku sendiri hanya bisa termenung, duduk dan memperhatikan bunga mawar ini. Pakaian yang aku pakai pun sekarang nampaknya pakaian yang istimewa. Aku kelihatan sangat berbeda memakai kemeja putih panjang dengan celana levis sewarna. Ah, baru pertama kali aku memakai pakaian aneh ini. Haha, aku ingin tertawa mengingatnya. Karena sama sekali aku tidak menyadari baahwa aku telah diselimuti oleh pakaian yang membuat wajahku bersri dan mata bercahaya. Indahnya jika dia melihatku.
Rambut aku telah mengering, telah dua jam lebih aku menunggu dan minyak pengeras rambut yang aku pakai nampaknya sudah sejak tadi mulai bereaksi. Cincin perak, hadiah dari mama. Bukan cincin yang umum dipakai oleh kaum wanita! Namun lebih kepada cincin berwarna perak yang mengkilat jika terkena pancaran mentari. Cincin hadiah dari mama! Entah mama memberikan cincin ini dengan maksud apa.
“Laura. Sudah dua jam lebih aku menunggumu. Mengapa kau tak kunjung datang juga? Aku takut jika bunga yang hendak aku hadiahkan padamu sebagai bukti rasa cintaku padamu akan layu jika aku terlalu kelamaan mennggumu. Laura. Andaikan kau tahu semua isi hatiku dan bersedia menerima cintaku. Ah, mungkin aku menjadi orang yang paling beruntung sedunia.” Aku seolah berbicara pada mawar itu. Rasanya mawar itu lebih mencairkan suasana, lebih melancarkan percakapanku yang selama ini hanya bisa membeku di ujung tanduk pembicaraan jika berhadapan dengan Laura.
Laura, perempuan yang masih mempunyai keturunan Jepang itu begitu memikat hatiku. Ia memang tidak secantik perempuan Jepang lainnya. Rambutnya malah hitam. Sama sepertiku! Kulitnya memang kuning langsat, sangat cocok disandingkan dengan orang Jepang. Namun tubuhnya sangat ideal. Seperti biola. Matanya bolehlah sipit. Tapi hidung yang bergantung di wajahnya bisa dikategorikan mancung. Ah, benar-benar perempuan yang sempurna. Batinku!
Laura bersahabat denganku baru dua tahun lebih. Kami bernasib sama waktu itu. Kami yang sama-sama bercita-cita ingin melanjutkan SMA ke luar kota, malah terdampar di sebuah SMA terpencil di kota Bogor. Benar-benar sial. Kini aku terpaksa mengikuti aturan mainnya sekolah ini dengan diwajibkannya memberikan kesan dan nuansa Islami. Menyebalkan! Dari dulu aku sangat benci dengan hal yang berbau agama. Namun itu bukan berarti hidupku atheis. Namun lebih karena aku tidak mau dikata so’ alim atau sebagainya. Bukannya sombong. Aku cukup mengetahui pelajaran dan syariat-syariat agama. Namun rasanya jika dicampur baurkan dengan kehidupan SMA yang penuh dengan keceriaan, tidak pas! Memang gila aku ini!
Saat masa-masa Mabis atau Mos, kebetulan aku membuat kesalahan yang sangat fatal sekali. Hingga membuat para kakak Osis selaku panitia geram. Ya Ampun! Aku ketahuan mengambil gambar kak Amel yang menjadi panita tercantik kala itu. Oh, bukan gambar kak Amelnya yang salah, tapi gambar dia yang kebetulan sedang berhumor dengan temannya hingga membentuk wajah yang menjijikan. Ah, sialnya aku ketahuan dan terpaksa harus menjalani hukuman menghormat bendera pusaka sampai waktu yang ditentukan dan mengelilingi lapangan sebanyak 50 putaran. Gila! Cara klasik masih saja dipakai!
Nah, saat itulah aku mengenal Laura yang sedang menjalani hukuman karena terlambat masuk kelas. Ternyata, tak disangka nasib dan keinginan kita yang sama menjadikan kami bersahabat. Hingga saat ini! Kami memang tidak pernah satu kelas. Laura mengambil jurusan IPA, sementara aku merasa otakku hanya mampu menaklukkan IPS. Faktor lain, alasan aku memilih IPS juga karena anak-anak IPA itu terlalu alim dan culun. Semua kegiatan ekskul diikuti. Rohis lah, Pramuka lah, Paskibra lah, PMR lah, pokoknya semuanya. Dan lagi biasanya mereka yang masuk IPA mayoritas perempuan. sekali adanya laki-laki, lelaki cupu dan dijadikan budak dan penindasan oleh anak IPS.
Olala, ternyata keseharian aku, keakraban aku, canda tawa aku dan Laura mampu membawa hatiku menuju jurang cinta yang berlabuh di lembah hati Laura. Oh, namun kini masalahnya, hari Minggu ini aku telah membuat janji dengan Laura. Aku sudah menunggunya sejak tiga jam lalu. Namun rupanya Laura masih belum tiba juga. Dalam hati aku bertekad bahwa aku tidak akan pulang sebelum Laura datang!
“Laura, aku tidak akan beranjak selangkah pun sebelum kau datang!” tekadku mantap.
Taman kota semakin sepi. Pasangan kekasih yang tadi sedang bercinta, yang tadi bermesraan di bawah pohon beringin sudah lenyap bagai ditelan bumi. Aku tak menyadarinya. Lalu lalang kendaraan bermotor masih terdengar. Hari ini Weekend. Mungkin orang-orang sedang menjalani weekend-nya dengan gembira. Sedangkan aku? Menunggu seseorang entah sampai kapan. Eh, tunggu! Apa mungkin Laura tengah liburan weekend? Apa ia tengah bersenang-senang memanfaatkan hari libur? Tapi tak sedikitpun ia member kabar kepadaku jika ia tidak bisa datang? Ah, handphone! Sekarang jaman teknologi. Mengapa aku tidak mengeluarkannya sedari tadi?
“Astaga!
Aku terperanjat dan terkejut. Bagaimana bisa? Handphoneku tidak ada! Aku lupa membawanya dari rumah saking senangnya? Ah, bagaimana bisa? Apa aku harus lari secepatnya menuju rumah hanya untuk mengambil sebuah HP? Oh, tidak-tidak!aku sudah berjanji tidak akan beranjak selangkahpun demi menunggu kedatangan Laura. Tapi Laura, oh, Laura dimana kau? Apa kau tidak mengetahui aku menunggumu disini dengan penuh harap. Seketika kegrogianku hilang oleh rasa yang tak tentu. Aku bingung sendiri mengapa Laura masih belum datang?
Seakan waktu habis oleh lamunanku, kini hari sudah semakin sore. Aku sama sekali lupa dan tidak menghiraukan shalat zhuhur yang tertinggal. Pikiranku hanya satu. Menunggu Laura. Ah, tapi mungkin menunggu Laura adalah hal yang mustahil bagi diriku karena kini Laura masih belum juga datang. Sesibuk apa sih Laura hingga ia tak sempat meluangkan waktunya untuk bertemu dengannya? Batinnya. Bunga mawar yang tadi segar, kini telah layu seiring bertambahnya usia dan kurangnya karbon dioksida yang diserapnya.
“Grubakkk!!!” suara sesuatu yang jatuh dan sangat keras mengejutkanku. Aku perhatikan ke sana-sini, hingga akhirnya aku melihat sebuah bus kuning telah terjerembab ke trotoar jalan. Aku ingin melihat dan menyaksikan apa yang terjadi di sana. Tapi nuraniku mencegahnya. Ia kembali mengingatkan bahwa aku telah berjanji untuk tidak beranjak selangkahpun demi menunggu Laura. Bukankah ia hanya menghampiri TKP itu sebentar saja? Tidak takutkah ia bahwa jika sesuatu yang buruk menimpa Laura? Ah, ego itu masih bisa terkalahkan oleh nurani yang memegang teguh janji.
Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya tempat dimana bus kuning itu terjerembab sudah dipenuhi oleh warga sekitar. Aku sedikit penasaran. Tapi nurani kebali mengingatkan. Maka terjadilah persengketaan antara nurani dan ego. Tunggu! Bukankah dari dulu pun nurani dan ego itu tidak dapat bersatu atau terus saja bersengkete? Ah, namun masalah ini serius. Aku semakin panik jikalau terjerembabnya bus itu ada hubungannya dengan Laura. Ah, semoga saja tidak. Doaku harap-harap cemas. Mungkin kelulusan Ujian Nasional masih kalah oleh kepanikkan dan kecemasan yang aku alami saat ini.
Hari semakin sore. Aku masih terduduk di kursi dekat pohon beringin yang tadi pagi dijadikan tempat bercinta. Mawar yang aku pegang sudah layu. Aku pun sudah mulai layu akan harapanku dengan kedatangan Laura. Entah kenapa perasaanku tidak enak hari ini. Namun, layu yang mulai tumbuh dalam diriku seakan dibabat habis oleh rasa bahagia dan sumringah atas kedatangan seorang perempuan yang selama ini aku tunggu-tunggu.
“Laura!” teriakku padanya. Dalam hati aku bersyukur bahwa ia tidak apa-apa.
“Alvin… hiks.” Laura semakin mendekat. Ia menangis. Ia tidak membalas teriakanku. Melainkan penyebutan namaku yang sedikit janggal yang disertai tangisan. Apa ia sedang bersedih? Mungkinkah mamanya yang mengantar dirinya itu terjadi kecelakaan? Laura semakin mendekat.
“Laura, sudah lama aku menunggumu. Tapi lihat! Aku masih fresh. Aku masih semangat, Laura. By the way. Kau kenapa?” tanyaku menyusul penjelasan supaya Laura tersenyum.
“Alvin… maafkan aku.” Tangisnya masih belum reda. Ia kemudian duduk di sebelahku dan mengusap air matanya dengan sapu tangan. Berkali-kali ia lakukan. Nampaknya terjadi suatu kejadian yang sangat menyedihkan baginya.
“Iya, tanpa kamu meminta pun. Aku sudah memaafkanmu, Laura. Memangnya kau dari pagi kemana saja? Aku menunggumu sejak pagi tadi, Laura.”
“Aku tahu kamu telah menungguku dari pukul delapan pagi tadi. Itu berdasarkan sms-mu padaku yang mengajakku untuk bertemu. Namun aku malah lebih senang di ajak belanja sama mama. Aku ceroboh. Maka itu aku merasa sangat bersalah sekali padamu, Alvin.”
“Penyesalan itu sering kali datang akhir. Namun aku cukup senang karena kau datang padaku. Memangnya, sebegitu menyesalnya kau telah mengajak tawaranku hingga kau menangis tersedu-sedu seperti ini, Laura?”
“Alvin, jika kamu sudah memaafkanku karena aku terlalu ceroboh memilih untuk belanja daripada bertemu denganmu, mungkin kesedihanku tidak seperti ini. Tapi…” kata-kata Laura terputus.
“Sudahlah, Laura”
“Alvin. Sebenarnya aku mencintaimu, Alvin. Sungguh. Makanya aku tidak mau kehilangan kamu. Aku mau kamu menjagaku selama hidupmu dan hidupku, Alvin.” Tangis Lara pecah.
“Hey, mengapa kau menangis? Malu kau telah menembak aku duluan? Sebenarnya aku mengundangmu ke sini pun aku ingin mengungkapkan bahwa aku sangat cinta padamu, Laura.” Aku mencoba menenangkan. Aku masih belum berani merangkul dan menyentuh tubuhnya yang bergetar dahsyat.
“Aku ingin kau peluk, Alvin.” Pinta Laura. Padaku? Ya, siapa lagi? Satu-satunya orang yang berada si sini dengan nama Alvin hanya diriku.
“Dengan senang hati, Laura.” Aku hendak memeluk Laura. Namun sungguh mengherankan,. Aku sama sekali tidak bisa memeluk Laura. Ya Tuhan, ada apa dengan aku ini. Aku sama sekali tidak bisa memeluk Laura. Pelukanku tiba tiba menembus badan Laura. Sepertiiii, seperti,… seperti hantu! Ya Tuhan! Apa artinya ini?
“Alvin, andai kau masih hidup dan dapat memeluk diriku. Aku tak akan menyia-nyiakan dirimu Alviiiiiin!!!” teriak Laura. Histeris. Apa? Apa yang dikatakannya? ‘andai aku masih hidup’? apa artinya itu?
“Alvin, bukan salahmu yang menunggu aku terlalu lama. Namun diriku yang terlambat datang hingga tidak dapat mencegah bus kuning keparat itu menindasmu, Alvin!” laura semakin histeris. Suaranya serak.
Apa????? Aku tertindas oleh bus kuning yang jelas-jelas aku dengar suaranya tadi? Aku sudah mati? Tidakkkk. Tidakkkkkk!” segera saja aku menuju tempat kejadian dimana bus kuning yang besar terjerembab ke trotoar jalan. Dan, dan seseorang yang berbaju kemeja biru polos dan celana levis hitam itu tidak asing lagi bagiku. Aku sama sekali tidak mempunyai saudara kembar. Itukah aku? Orang yang berada di bawah kolong bus dengan darah segar yang mengalir. Itukah aku? Orang yang menunggu kehadiran Laura? Itukah aku? Oh, aku sendiri masih bingung bagaimana kronologis kejadian sebenarnya. Maka, tanpa di undang, seseorang yang tidak aku kenal muncul begitu saja di sampingku. Wajahnya begitu menyeramkan seakan menimbulkan kebencian.
“Sudah sejak jam delapan aku ambil ruhmu dari ragamu atas izin Tuhan. Aku buat kau tidak merasakan apa yang ragamu rasakan. Aku juga membuat ragamu tidak merasakan apa yang kamu rasakan. Ragamu menunggu seorang gadis bernama Laura di trotoar jalanan taman sambil sarapan pagi. Ingatkah kau sejak dari rumah ragamu belum memakan sesuap nasipun? Maka aku tempatkan kau sebagai ruhnya di tempat yang aman agar kau merasa nyaman. Sementara ragamu ditempati oleh ruh yang lain yang tidak akan merasakan sakit apapun saat sopir bus yang masih mengantuk hingga bus yang dikendalikannya oleng dan menubruk warung nasi tempat dimana raga kau sedang sarapan. Semua barang-baerang warung itu ambruk. Raga kau aku tempatkan pada kolong bus itu sehingga membuat miris hati orang yang melihatnya dan membuat orang lain menaruh rasa iba padamu. Namun kamu, kamu hanya bisa mendengar dan melihat bagaimana ragamu dicabik-cabik oleh sesuatu yang sangat mengerikan. Itulah salah satu ciri bagi orang yang mengerti akan ilmu Tuhan, sedangkan ia malu dan menampakkan diri sebagai orang yang paling bodoh terhadap ilmu Tuhan.
“Tuhan masih berbaik hati menjaga ruhmu agar tidak terkotori dan merasai pahitnya tertindas oleh bus yang sangat besar. Bus dengan penumpang yang banyak itu hanya menyisakan dua korban jiwa. Raga kau, dan sopir bus itu. Demi menjaga rahasia Tuhan agar kau tahu semua kebenaran Tuhan dengan sendirinya dan atas proses kehidupan yang sudah diatur Tuhan, maka, ruhmu kami pertemukan dengan kekasih pujaanmu agar kamu tahu perasaan yang sama juga timbul darinya.” Jelas makhluk aneh itu tanpa memberikan kesempatan aku untuk berbicara.
“Tapi bagaimana? Laura masih belum tahu perasaanku sebenarnya. Aku ingin mengungkapkannya secara langsung padanya.” Pintaku. Tiba-tiba aku meneteskan air mata karena sedih telah meninggalkan dunia ini. Kini duniaku dan dunia Laura berbeda.
“BerDoalah agar Tuhan mempertemukan dirimu kembali.”
“Bagaimana aku berDoa padanya. Sudah lama aku tidak melakukan hal itu.”
“Dalam hatimu masih tersimpan ilmu Tuhan yang tidak terkira. Maka kamu dapat menyimpulkan sendiri bagaimana supaya kamu bisa melakukan Doa kembali. Namun duniamu sekarang bukanlah dunia yang fana. Doamu sudah tidak akan diterima lagi oleh Tuhan.”
“Lalu?”
“Biarkan ragamu yang menjadi perantara atas petunjuk Tuhan agar orang-orang disekelilingmu turut menDoakanmu.”
Makhluk itu tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan mengajakku ke dalam tempat yang sungguh tidak terbayangkan dalam benak manusia jenius seperti apapun! Hanya Tuhan yang tahu.
Ilmu Tuhan akan sirna jika tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun cinta dan kasih seseorang yang tulus yang ditebus oleh Doa sang kekasih, dapat menjadi perantara keberkahan dari Tuhan untuk kita
---Ibnu sa’id Al-Khudry---
ConversionConversion EmoticonEmoticon