Kesendirianku adalah pilihan ketidak mampuanku. Aku memiliki hati, aku memiliki orang yang aku cintai, namun ketidak mampuan meyakinkan kesetianku menghambat aku untuk mencintainya. Aku tidak menyesali takdirku, aku hanya membeci pilihanku.
Kalian mungkin sudah mengenalku. Yap namaku putra, Seorang remaja egois yang menikmati hidup semaunya, mempermainkan wanita hanya demi kepuasan. Hidupku hanya untukku, itulah kata-kata yang slalu membimbing hari-hariku. Namun sebuah kejadian mengubah sikapku, aku berubah menjadi seorang lelaki yang hidup hanya untuk mencari uang. Bukan karena aku matrealistis, tapi lebih karena untuk menghilangkan kekecewaanku. Kehilangan seseorang yang dicintai karena ketidak beranianku untuk meyakinkan wanita itu. Ya, wanita itu menerima pinangan pria lain. Menerima, ketika aku meminta wanita itu untuk menunggu pinanganku. Meski awalnya berjanji menunggu, namun akhirnya wanita itu luluh oleh pinangan pria dari masa lalunya.
Lima tahun sudah berlalu sejak perpisahanku dengan Dinda. Dua tahun yang lalu aku menyelesaikan kuliahku, dan kini aku membuka sebuah cafe yang aku dirikan dari uang yang kudapatkan dari bekerja dulu ditambah uang hasil menjual motor maticku. Tak disangka usaha yang aku jalani sangat sukses, hanya butuh waktu kurang dari enam bulan untuk mengganti motor yang lebih dari yang dulu, kini aku menjadi jutawan muda. Meski jurusan yang aku tempuh adalah bahasa indonesia, namun ditubuhku sepertinya mengalir darah pebisnis. Kini akupun sedang berencana membuka cabang di daerah lain di kota yang sama.
Berkat kesuksesan singkatku kini akupun mulai ditawari untuk menjadi motivator di berbagai tempat. Bukan hanya mereka yang mau menjadi pengusaha, namun mereka yang ingin hidup sukses pun mendengarkan motivasi-motivasi yang aku berikan. Berkat kesuksesanku itupun mulai banyak wanita cantik yang mendekatiku. Dari yang sekedar ingin dekat hingga serius untuk menjalani sebuah hubungan yang mengikat hingga mati. Namun aku tidak bisa menerima mereka di hatiku, bukan karena aku tahu mereka tertarik karena kekayaanku. Karena bagiku wanita sudah sewajarnya menyukai uang. Tapi karena aku masih terjebak dengan semua kenangan masa laluku. Ya aku masih mencintai dinda, sangat mencintai. Meski sebenarnya harapanku sepertinya sudah musnah. Tepat setahun yang lalu aku mendengar dinda sudah menikah dengan robby. Teman sekelasnya yang hadir ketika aku menjauh. Perasaanku bercampur aduk waktu itu, disatu sisi aku bahagia karena dinda telah menemukan kekasih sejatinya, namun disatu sisi aku sangat menyesali kepergianku.
Kenangan bersama dinda tak lantas membuatku larut dalam kesedihan, kini aku sudah lebih dewasa. Setiap permasalahan yang kuhadapi kini hanya kuhadapi dengan senyuman dan rasa bersyukur. Itu terasa lebih baik daripada ketika dulu aku hadapi dengan kemurungan.
Hari ini aku dijadwalkan menjadi bintang tamu di sebuah acara seminar yang dilakukan di sebuah perguruan tinggi negeri di kotaku. Dengan penuh semangat aku pergi menuju kampus tersebut. Jalanan cukup padat waktu itu, karena itu masih pagi dan hari senin. Masyarakat mulai kembali ke list kehidupannya. Akhirnya aku sampai ketika waktu menunjukkan pukul delapan kurang lima menit. Karena seminar akan dilaksanakan pukul 8.30. Aku mampir dahulu di sebuah taman di area kampus tersebut. Udara ditaman itu begitu sejuk, sesekali aku bisa melihat lembar daun yang berguguran diterpa angin. Aku tidak sendiri di taman itu, cukup banyak penghuni kampus yang memanfaatkan taman itu. Dari mulai mengerjakan tugas, berkumpul bersama teman atau menyimpul rindu dengan seseorang. Aku mulai teringat masa-masa bersama dinda. Aku sering menghabiskan waktu senggang bersamanya di taman kampus kami. Sekedar berbagi cerita, bersenda gurau atau mendengarkan gesekan biola kesayangannya. Waktu terasa singkat namun sangat berkesan, aku rindu kamu dinda.
“saya harap motivasi dan kisah masa lalu saya bisa menjadi sebuah referensi anda mencapai kesuksesan. Karena kesuksesan anda, andalah yang menentukan bagaimana jalannya. Apa ada yang ingin bertanya ?” tanyaku memulai sesi pertanyaan.
Beberapa pertanyaan terlontar kemudian dicatat moderator, semuanya bisa aku jawab dengan pengalamanku. Hingga tiba di satu pertanyaan yang membuatku membatu dibuatnya.
“kang putra, nama saya riska. Saya punya satu pertanyaan yang seseorang ingin saya minta untuk menanyakannya. Mengapa anda menganggap diri anda tidak pantas untuk wanita tersebut. Bukankah yang berhak menentukan pantas atau tidaknya seseorang hanya tuhan. Orang lain bahkan anda sendiri tidak berhak menilainya”
Beberapa putaran 360 derajat berlalu dalam diam, hingga akhirnya moderator membuyarkan diamku. Seketika aku melontarkan sebuah kalimat.
“aku terlalu mencintaimu untuk menyakitimu”
Kemudian aku kembali dalam diamku, moderator yang mengetahui ada yang aneh denganku, langsung menutup seminar hari itu. Tanpa banyak bicara akupun melangkah pergi. Meninggalkan panitia acara dan sejuta pertanyaan peserta seminar yang bingung dengan tingkahku.
Keesokan harinya salah seorang panitia tersebut menghubungiku. Sekedar menanyakan keadaan dan meminta maaf jika ada pertanyaan yang tak mengenakan. Kemudian dia menanyakan kesedianku untuk menghadiri seminar kedua minggu depan. Akupun menyanggupinya.
Seminggu kemudian aku menghadiri seminar di kampus yang sama kedua kalinya. Namun kali ini tidak ada pertanyaan atau hal apapun yang mencoba mengusik kenanganku. Pukul sebelas acara tersebut selesai. Karna aku tidak ada kegiatan lain, aku mencoba mengenang masa muda dengan bermain di taman kampus tersebut. Sedikit demi sedikit kenangan masa lalu mulai menyimpul senyum di bibirku. Perlahan aku terlarut dalam rindu yang menggebu.
“aku terlalu mencintaimu untuk menyakitimu” ucapan seorang wanita membuyarkan lamunanku.
“eh kamu. maksudnya apa ?” ternyata wanita itu yang bertanya di seminar tempo hari.
“saya hanya menyampaikan sesuatu yang sering diutarakan dosen saya”
”dosen kamu ?” aku mulai bertanya siapa ? apakah dinda ? atau orang lain yang telah membaca bukuku. Karena semua kejadian yang telah aku alami, aku tuangkan dalam sebuah buku.
“iya”
“siapa ?”
“aku ndut”
Seorang wanita menghampiriku. Mengenakan kemeja putih dipadu celana panjang warna coklat. Rambut yang kini terurai telah melebihi buah dadanya. Namun bibir tipis merah muda dan lesung pipi itu masih sama seperti dulu. Satu-satunya perubahan di wajahnya hanyalah sebuah kacamata yang berpijak di depan matanya.
“k-kau” terkejut.
“makasih ya riska”
“iya bu. Ditinggal dulu ya”
“iyaa daaah”
Kemudian dia duduk di sampingku. Sesaat kebekuan yang hadir di malam itu kembali hadir. Bibirku seolah enggan mengomentari hadirnya. Sesekali aku mencuri potret dirinya untuk kusimpan dalam memoriku.
“lima tahun” ucapnya memecah keheningan.
“ya ?”
“lima tahuuuuuuuu nduuuuuuuut, tiap malam selama lima tahun hatiku slalu meluangkan waktu untuk mengingatmu.” Ujarnya gemas sembari mencubit pipiku. Tingkah kekanak-kanakan ternyata masih hadir di balik penampilan dewasanya.
“eh sakit tau”
“biariiiiin, itu ga seberapa dibanding sakit yang aku rasaiiiiin. Seenaknya aja ya kamu ninggalin aku gitu aja.” Kini ia mulai geram.
“eh iya maaf”
“huh dasar. Kalo mau pergi pamit kek, jangan cuman ninggalin sms yang isinya kalimat ga penting.”
“maaf”
“hm”
Kembali keheningan menghampiri kami, dan kembali ia memecah keheningan itu.
“kenapa kamu pergi gitu aja ?”
“aku takut ga bisa lepasin kamu”
“ya jangan dilepasin dooong”
“aku takut nyakitin kamu”
“ya jangan nyakitin dong”
“aku..”
“udah iiih ngeles muluuu”
Sedikit demi sedikit bibirnya mulai menggoreskan sebuah senyuman di wajahnya. Ini, ini wanita yang aku cintai. Aku yakin. Hatiku mulai mengoceh ke otakku.
“hebat ya sekarang kamu udah sukses. Banyak ya cewe yang deketin”
“ah percuma banyak yang deketin juga kalo hati aku udah diambil orang”
“emang siapa yang ngambil ?”
“kamu”
“gombaaaaaaaal iiiiiiih haha. Kamu ga berubah ya, dari dulu tuh jutek tapi sekalinya ngomong bikin gimanaaaaa gitu hehe”
“masa ah”
“iyaaa haha”
“hei”
“apa ?”
“gimana kabar keluargamu”
“alhamdulillah baik. Dia sekarang udah kelas tiga”
“ha ? cepet banget. Emang umurnya berapa ?”
“sembilan taun”
“ha ? kok bisa ?”
“ya emang sembilan kali. Terakhir kamu ketemu kan empat tahun”
“ha maksudnya ?
“iya tio kan ?”
“tio ? anak kamu namanya tio ?”
“iiih begoooo itu adik akuuuu”
“oh tio hehe. Jadi kau belum punya anak”
“ya belum doooong gila aja aku udah punya anak”
“emang kamu ga pengen punya anak”
“ya pengen atuuuuh. Tapi ga sekarang”
“emang suami kamu ga pengen cepet punya anak ?”
“ha suami ?”
“iya. Kamu udah nikah kan sama robby ?”
“ha ? kata siapa ?”
“aku denger kabar angin. Katanya kamu udah nikah setahun yang lalu”
“haha dapet berita hoak tuh.”
“ha ?”
“aku ga nikah ma dia kali. Pacaran aja engga”
“ha ? bukannya kamu dulu deket sama dia ?”
“iyaaa sekedar deket. Semenjak kamu pergi dia ngedeketin aku. sempet beberapa kali nembak, tapi akunya gamau.”
“kenapa ?”
“ya karna aku sayang kamu begoooooooo iiiiiih” kembali dia mencubit pipiku.
“ih maaf kan aku gatau”
“makanya jangan ngilang gitu aja, jadi ga update berita aku kan haha”
“heu dasar kau”
“kamu sendiri, sekarang udah punya pacar, tunangan, nikah, atau duda haha”
“heu dasar. Aku masih dan slalu sendiri”
“kenapa ?”
“karena kamu”
“kok karena aku ?”
“iya soalnya hati aku kan udah diambil sama kamu”
“yaudah aku kembaliin deh”
“ga usah. Simpan aja”
“nah, trus gimana kalo ada cewe lain yang minta hati kamu”
“ga akan ada cewe lain.”
“kok bisa”
“karena aku bakalan abisin sisa hidup aku sama kamu”
“ih emang aku mau ?”
“oh yaudah kalo gamau mah. Aku cari cewe lain yang ga perlu hati aku”
“iiiiiih”
“kenapa ?”
“jangaaaaaaaan”
“apa ?”
“jangaaaaaaaan iiiiiih”
“apaaan siiiiih”
“jangan cari cewe laiin”
“nanti aku gimana mau punya keturunan”
“kan sama aku”
“katanya ga mau”
“mau deng haha”
“heu dasar”
Seperti dahulu, dia mulai memeluk lenganku. Menyandarkan kepalanya di bahuku. Cukup lama, cukup lama. Perlahan mentari mulai pergi dengan angkuh menampilkan keindahannya. Tak lama malam hadir tanpa di temani rembulan dan bintang yang masih malu dengan keindahan mentari.
Sejak saat itu, kami mulai merajut kembali hari-hari seperti dahulu. Aku mulai sering hadir kembali di rumahnya. Sama seperti dahulu, kehadiranku masih disambut hangat keluarganya terutama tio yang bisa bertemu aku lagi. Aku yang sudah dianggap kaka laki-lakinya yang lebih menyenangkan dari dinda kaka perempuannya. Namun kali ini akupun mulai mengenalkan dinda dengan keluargaku. Sesuatu yang tidak pernah aku lakukan dulu. Enam bulan sejak pertemuanku dengannya, akhirnya kami mengikat hubungan kami berdasarkan agama. Kini aku sudah memiliki lima cabang cafe, sementara dinda membuka kursus musik. Hari – hariku mulai ia hiasi dengan senyumnya. Slalu dengan senyumnya. Dan aku harap slalu dengan senyumnya. Terima kasih tuhan.
ConversionConversion EmoticonEmoticon