Kenapa "Twilight" Disuka (dan Dibenci)

twilight-quiz
SANGAT mudah bagi saya memberi alasan mengapa Twilight dibenci, mengingat saya tak menyukai novel-novelnya dan baru bisa menikmati film Breaking Dawn Part 2 dari semua film Twilight. Tapi saya tak bisa pungkiri, di luar sana ada jutaan orang yang cinta mati pada Twilight.
Maka, saya pun bertanya-tanya, kenapa ada yang begitu suka Twilight, dan di saat bersamaan tak sedikit pula yang membencinya?
Sebelum menjawab, baiknya sih mengulik asal-asul vampir. Cerita vampir haus darah bukan hal baru di jagad sastra Barat. Usia legenda vampir sudah ratusan tahun jadi cerita rakyat di Eropa—terutama Eropa Timur.
Cerita vampir modern bisa dikatakan lahir sekitar tahun 1816 saat Eropa dilanda cuaca tak normal yang dikenang sebagai tahun tanpa musim panas. Di tengah hujan bulan Juni tahun itu, penyair Inggris George Gordon Byron terjebak di Villa Diodati, sebuah rumah di tepi danau di Jenewa, Swiss. Bersama tamunya Mary Wollstonecraft Godwin dan Percy Bysshe Shelley.
Sambil membunuh rasa bosan mereka saling membacakan cerita horor dari buku Tales of the Dead. Dokter pribadi Byron, John William Polidori, yang mengikuti pembacaan itu, mengusulkan agar mereka masing-masing membuat cerita horor. Mary—yang kemudian menikahi Percy dan mengganti namanya jadi Mary Shelley—menyusun cerita yang kemudian jadi cerita horor klasik Frankenstein. Byron menyusun fragmen cerita tapi tak pernah diselesaikannya.
twilight-breaking-dawn-2-aFragmen cerita Byron kemudian diteruskan Polidori menjadi novel The Vampyre. Ia mengubah cerita rakyat wilayah Balkan dan Eropa Timur tentang makhluk mengerikan penghisap darah menjadi sesosok manusia, yakni bangsawan Inggris Lord Ruthven. Hasil imajinasi Polidori ini yang kemudian menjadi cikal-bakal penggambaran vampir: makhluk mengerikan haus darah yang tersembunyi di balik sosok aristokrat.
Dicatat Profesor Sastra Inggris di East Carolina University, James Holte, seperti dikutip suplemen Ruang Baca Koran Tempo (edisi Januari 2009), mengutip buku Holte, Fantastic Vampire, karya Polidori itu telah memicu ketertarikan pada makhluk pucat yang hidup abadi tersebut. Karyanya kemudian diikuti banyak puisi vampir Jerman, drama-drama di Prancis, dan novel di Inggris.
Menurut Holte, keranjingan tema vampir ini mencapai puncaknya ketika Bram Stoker menulis Dracula pada 1897. Karakter vampir versi Stoker—yang berdarah biru dari daerah Transylvania di Rumania sana—menjadi gambaran vampir yang hingga kini dikenal publik. Sejak novel Stoker terbit rumusan atas sosok vampir adalah makhluk yang menghisap darah demi bertahan hidup, bertaring, kutukan yang menular lewat gigitan, mati ditusuk pada jantung dan mati terbakar matahari.
Teknologi sinema yang baru ditemukan di akhir abad ke-19 dan mulai berkembang di awal abad ke-20 dengan segera mengadopsi cerita vampir sebagai bahan tontonan. Film vampir bisu Nosferatu di tahun 1920-an bikinan sineas Jerman segera disukai dan jadi ikon sinema. Hollywood di awal 1930-an kemudian juga mengadopsi cerita vampir Dracula dengan ikonnya Bela Lugosi sebagai sang vampir.
Robert-Pattinson-Kristen-Stewart-Twilight-Saga-Breaking-Dawn-Part-1-image-6-400x600***
Dunia sastra dan film sudah berkali-kali mendaur ulang cerita vampir. Namun, tak dipungkiri Stephanie Meyer dengan novel Twilight-nya membuat fenomena yang tak pernah terjadi pada genre horor satu ini. Novel Twilight yang berjumlah 4 seri terjual puluhan juta eksemplar dan diterjemahkan ke puluhan bahasa. Versi filmnya dibuat sampai 5 seri menghasilkan AS$ 2,5 miliar dan diyakini bakal bertambah terus.
Hal ini cuma menandakan satu hal: ada begitu banyak orang di muka bumi ini yang menyukai Twilight.
Ah, Anda pencinta Twilight pasti sudah tahu bagaimana ibu Stephanie Morgan Meyer awalnya menciptakan kisah Twilight. Di suatu pagi bulan Juni 2003, Meyer tak bisa melupakan mimpinya semalam yang begitu nyata. Setelah membereskan urusan rumah tangganya, Meyer duduk depan komputer dan menulis. Selama tiga bulan kemudian—sebagian besar di lakukannya malam hari, usai anak-anaknya tidur—Meyer terus menulis. Tulisan itu kemudian jadi novel Twilight, tentang gadis remaja bernama Isabella “Bella” Swan yang jatuh cinta pada Edward, teman sekolahnya, yang ternyata seorang vampir.
Tentu bukan semata cerita vampir versi baru yang memikat jutaan pembaca pada kisah Twilight. Dan bukan pula sekadar romansa vampir dan manusia.
Dari artikel di Ruang Baca (Januari 2009) dikutip tulisan Caitlin Flanagan di majalah The Atlantic Monthly (Desember 2008) yang mencoba menjelaskan kenapa banyak orang suka Twilight. Dia menulis, di luar seting dan atributnya, serta plotnya yang tak berliku, hubungan erotis antara Bellla, si manusia, dan Edward, si vampir, adalah magnet penting yang memikat dan menyedot empati pembaca, para gadis remaja. Menurutnya situasi yang melingkupi mereka berdua sangat jelas: mereka akan melakukannya atau tidak, dengan konsekuensi yang tetap sama bagi Edwad tapi tidak bagi Bella.
Hal itu sebetulnya biasa. Dan jika mengingat bahwa Meyer penganut Kristen aliran Mormon, yang ajarannya sangat ketat melarang seks di luar nikah, melakukan aborsi, dan meninggalkan kewajiban sebagai ibu yang baik, kisah Twilight dan sekuelnya seperti melawan kehendak zaman yang mengagungkan kebebasan seks dan hak asasi.
Yang membuatnya tak biasa, orang tak perlu merasa dikhotbahi untuk menjalani hidup lurus begitu. Yang ddikesankan novelnya justru hasrat Bella yang pada gilirannya begitu ingin jadi vampir (agar mereka bisa bahagia selamanya) tak serta-merta dipenuhi. Edward, dalam posisinya sebagai vampir yang sesungguhnya menginginkan Bella, sehingga semestinya bisa melakukan apa pun untuk itu, selalu menolak—sampai di bagian akhir cerita.
bella-290
Kristen Stewart sebagai Bella Swan saat adegan pernikahan. (dok.UsWeekly)
Sejak awal, cerita Twilight sudah punya pesan “tak akan bercinta sebelum menikah.” Nah, Meyer pintar mengaduk-aduk perasaan pembaca untuk bersimpati pada pasangan yang sebetulnya sudah ngebet bercinta itu. Gaya narasi Meyer juga jitu, memungkinkan pembaca (terutama perempuan) langsung mengidentikkan diri mereka sebagai Bella yang sudah ngebet dan cinta mati pada Edward, vampir yang gantengnya minta ampun. ***
Tapi, saudara-saudara, kenapa pula Twilight tetap banyak yang benci?
Di luar sana banyak yang tak suka Twilight sekadar menunjukkan diri: tak suka Twilight berarti keren. Orang-orang ini menganggap penggemar Twilight berarti penyuka novel/film cengeng yang norak dan murahan.
Jujur, saya bukan penggemar Twilight. Namun, saya tak suka Twilight bukan karena ingin dibilang keren. Saya mencoba membaca novelnya. Ketika mencoba membaca novelnya (pinjam dari keponakan), saya tak sanggup menyelesaikannya. Bagi saya, sebagai bacaan, novelnya terlampau bertele-tele. Untuk sebuah kisah yang sederhana tak sepatutnya ditulis sepanjang itu.
Untuk cerita vampir, saya lebih pas dengan novel Bram Stoker atau The Historian karya Elizabeth Kostova. (Dua-duanya sudah diterjemahkan, jadi sebaiknya cari bukunya dan lalu bandingkan sendiri lebih hebat mana dengan Twilight.)
Saya sadar, sebagai pria berusia awal 30-an, saya bukanlah target pembaca novel ini. Tapi, menurut ukuran umur, saya juga bukan sasaran pembaca Harry Potter. Tapi, saya begitu mencintai novel JK Rowling itu dan menghabiskan lebih dari 10 tahun hidup saya (sejak tahun 2000 saat saya baca novel Harry Potter pertama sampai versi filmnya tamat tahun lalu) membaca dan menonton film-film Harry Potter.
Well, di mata saya, Stephanie Meyer tak punya kemampuan menulis sehebat JK Rowling. Sesederhana itu alasan saya tak suka Twilight, sebenarnya.
Jadi, Anda termasuk yang suka Twilight atau membencinya?
Previous
Next Post »