'Twilight' Versus 'Harry Potter'!

ADA fenomena menarik di jagad maya hari-hari ini. Bukan. Bukan soal video baru mirip artis A dengan artis B. Tapi, soal Harry Potter dan Twilight.


Dua hal ini seolah saling berebut perhatian di saat nyaris bersamaan. Betapa tidak, saat film anyar Twilight berjudul The Twilight Saga: Eclipse rilis di seluruh dunia, Warner Bros merilis versi teranyar trailer film pamungkas kisah Harry Potter, Harry Potter and the Deathly Hallow.
Kemudian, di jagad Twitter, selama 3 hari trailer Harry Potter jadi perbincangan paling hangat di situs itu alias trending topic. Eclipse seolah tenggelam.
Meski begitu, bukan berarti Eclipse tak menyita perhatian orang banyak. Di mana pun, termasuk di sini, bioskop diantre banyak orang, terutama remaja perempuan, untuk menonton film itu. Eclipse sudah mencatatkan rekor sebagai film yang penontonnya paling banyak saat pemutaran midnight di hari pertama. Twihard, Twilighter, hingga Twimoms maupun Team Edward dan Team Jacob berkumpul memenuhi isi bioskop di seluruh dunia.
Jadi, pilih Twilight atau Harry Potter?
Sebelum sampai ke kesimpulan memilih yang mana, saya ingin jelaskan mengapa banyak orang—mungkin termasuk Anda—menyukai Twilight. Inti kisah Twilight adalah cinta sejati. Di Twilight tergambar jelas saat-saat indah Bella dan Edward mengenali perasaan masing-masing. Cinta yang dialami Edward dan Bella adalah cinta ideal yang kita inginkan berakhir bahagia. Uniknya, keduanya berbeda dunia dan jenis. Bella manusia biasa. Edward seorang vampir.
Sebagai manusia, darahnya sangat diidamkan vampir. Edward sekuat tenaga mengendalikan diri untuk tidak menyantap belahan jiwanya itu. Hebatnya, Bella tak takut menghadapi pacarnya yang vampir, ia bahkan rela mati demi Edward. Lalu, Edward sang vampir berkekuatan super dan tak terkalahkan, ternyata dengan mudah luluh di hadapan Bella. Cinta mereka tentu diterpa cobaan. Ada Jacob sang serigala jejadian, kaum yang jadi musuh bebuyutan vampir, yang sempat menggoda hati Bella. Dan tentu, ada vampir jahat yang mengincar darah segar Bella.          
Itu saja kesan yang saya dapat dari Twilight. Keagungan cinta anak manusia. Kalau Harry?

Sebelumnya, ijinkan saya mengaku: saya pecinta Harry Potter dan tak pernah suka Twilight—betapa pun keponakan saya sudah meminjamkan novelnya pada saya untuk saya baca. Sekarang, saya akan beri tahu Anda mengapa saya lebih menyukai Harry Potter ketimbang Twilight.
Di rubrik Newsfeed situs majalah Time, 29 Juni lalu muncul tulisan “5 Alasan Kami Lebih Mencintai Harry Potter daripada Twilight”. Saya menyetujui setiap poin di situ. Pertama, Harry Potter punya jagad penceritaan yang lebih luas. J.K. Rowling, seperti George Lucas pencipta Star Wars atau JRR Tolkien pencipta The Lord of the Rings, begitu hebat mencipta dunia rekaan yang membumbui inti kisahnya. Saya, dan tentu juga Anda pencinta Harry Potter, dibuat percaya ada dua dunia, sihir dan muggle, orang-orang kayak kita yang bukan penyihir.
Coba deh pikir, kita tahu di mana para penyihir belanja (Diagon Alley), di mana mereka menaruh uang (Gringgots), di mana mereka sekolah (Hogwarts), olahraga apa yang paling mereka gemari (Quidditch), koran dan majalah apa yang mereka baca (Daily Prophet dan Quibbler), di mana para penjahat di penjara (Azkaban), hingga prasangka apa yang berlaku di masyarakat sihir (darah murni dengan darah lumpur dan juga soal status peri rumah yang begitu remeh).
Bahkan, karakter-karakter yang bukan tokoh utama di cerita Harry Potter kita sukai dan akrabi. Myrtle Merana, Neville Longbottom, Luna Lovegood, Arthur Weasley, si kembar Weasley, bahkan Lee Jordan yang sering jadi penyiar pertandingan Quidditch.
Beda dengan Twilight. Apa yang kita tahu dari jagad Twilight? Hanya sedikit: vampir yang baik tak menggigit manusia, vampir dan serigala jejadian bermusuhan, vampir suka main baseball.
Twilight telah melahirkan 3 bintang pujaan masa kini: Kristen Stewart, Robert Pattinson, dan Taylor Lautner. Bukannya tak ada wanita yang tergila-gila pada Daniel Radcliffe di luar sana. Tapi, di atas mengidolai sang bintang, pecinta Harry Potter terutama mencintai karakter dan ceritanya. Artinya, penonton datang ke bioskop bukan untuk memelototi wajah cantik Emma Watson atau si ganteng Daniel, lebih dari itu, mereka ingin menyaksikan perjuangan Harry dkk melawan kejahatan Lord Voldemort.
Soal Lord Voldemort, jelas tak terbantahkan, dia salah satu tokoh jahat yang pernah dicipta sepanjang masa.
Voldemort adalah tokoh jahat yang membuat kaum penyihir menyebut namanya saja tak berani. Begitu jahatnya Voldemort, ia membunuh orang tua Harry dan mencoba membunuh Harry saat masih bayi. Tanpa perlu membandingkan dengan Voldemort, tokoh jahat di Twilight tak cukup meyakinkan atau bikin kita ngeri.
Tanpa embel-embel vampir, Twilight akan jadi novel asmara picisan dengan bumbu seks di dalamnya. Di Harry Potter tak ada soal seks sama sekali. Sesekali Harry merasa ada getar asmara atau ia berkecupan. Tapi hanya itu. Tidak lebih. Terus terang, Harry Potter adalah bacaan yang lebih sehat ketimbang Twilight.
Alasan terakhir saya agak sentimentil. Tapi, betul kata artikel di Newsfeed situs Time, saya—dan banyak dari Anda—tumbuh bersama Harry Potter. Saya pertama baca Harry Potter dan Batu Bertuah terbitan Gramedia pada tahun 2000. Waktu itu umur saya 20 tahun, masih kuliah. Setelahnya, selama dekade 2000-an Harry Potter ikut mengisi hidup kita, lewat buku maupun film. Buku-buku Harry Potter saya semuanya sudah lecek karena keseringan dibaca. Warna tulisan judul di sampul buku sudah luntur. Saya yakin banyak buku-buku penggemar Harry Potter pun begitu. Baunya juga mungkin sudah berganti karena kena entah apa sewaktu dibaca sambil ketiduran. Filmnya, meski tak sebaik bukunya, menerjemahkan ceritanya dengan tepat. Pemilihan kasting pemainnya juga pas. Selama satu dekade sejak film pertama Harry Potter rilis tahun 2001, hingga bagian pertama film terakhirnya yang rilis akhir tahun ini, kita ikut melihat bagaimana perubahan Emma, Daniel, maupun Rupert Grint. Menontonnya, seperti menyaksikan sendiri bagaimana jalan hidup Harry, Hermione, dan Ron dari usia 10 tahun sampai dewasa.
Sedangkan Twilight berlangsung begitu cepat. Novel pertamanya rilis 2005 dan sudah tamat 2008. Film pertamanya rilis tak kurang dari satu setengah tahun lalu. Para tokohnya tidak cukup lama mendekam dan tumbuh bersama pembacanya. Twilight, kata Newsfeed situs Time, mungkin sebuah keuntungan besar—lebih dari $1 miliar—tapi jelas bukan sebuah penanda kultural yang cukup menancap pada satu generasi selama sedekade penuh.
Jadi, Team Twilight atau Team Potter? Saya sih Team Potter. Bagaimana dengan Anda?***


sumber ( klik )
Previous
Next Post »