Ketika Teringat Kisah itu


Ketika Teringat Kisah itu
Langit yang mendung seakan terus mengukir lukisan hatiku yang sedang kelam ini. Awan diatas sana terus mengarak gelapnya kabut menjelajahi seluruh permukaan bumi ini. Ku angkat kepalaku dan membuka mata  pelan- pelan memandang lukisan alam di atas sana. Ku lihat angkasa yang tadinya cerah, kini berubah menjadi kelam. Seperti kelamnya hati yang ku rasa kini. Hatiku rapuh bila mengingat semua yang telah terjadi  padaku. Di tengah- tengah diamku, tiba- tiba terdengar olehku sebuah suara menggelegar di atas sana. Lukisan alam yang kelam tadi rupanya semakin miris setelah terdengar sambaran petir. Bersamaan itu, hatiku juga ikut miris begitu sayup- sayup suara menyakitkan yang ku dengar kemarin kembali terngiang- ngiang dalam telingaku.Tak terasa sepasang anak sungai terbentuk di ukiran wajahku ketika kulihat sebuah sungai terbentuk oleh hujan di depan sana. Syaraf memoryku memutar kembali ke kejadian kemarin.Kejadian yang membuatku larut dalam kesedihan.
“Fa, besok jangan lupa jam 3 belajar kelompok di rumahku. Jangan telat, kamu kan ketua tim kita. Oke?” tanya Nela, sahabatku sejak kecil dulu.
“Pasti on time deh. Tenang aja.Oh ya, lainnya udah pada tau belon?” tanyaku balik seusai menjamin tepat waktu kedatanganku besok.
“Udah, kok. Pokoknya beres, deh semuanya,” ucap Nela sembari tersenyum manis padaku. Nela memang cantik. Biru matanya selalu membuatku iri untuk memilikinya. Mancungnya hidung Nela semakin menambah sempurna. Bibirnya yang merah merona sungguh manis dipandang mata. Senyuman  mautnya selalu membuatku tak berhenti memujinya. Sungguh indah mahakarya Tuhan yang satu ini.
*****

“Halo, ada apa, Nel? Malem- malem gini kok telpon. Ganggu tau,” gerutuku pada Nela di telepon. “Sorry, Fa. Sebenarnya aku pengen telpon kamu tadi sore. Tapi, aku tadi gak ada pulsa. Raven tadi sore kasih kabar kalo dia besok gak bisa ikutan belajar kelmpok, Neneknya meninggal dunia. Dia sekarang ada di Tegal, tempat neneknya. Mungkin 3hari lagi baru dia pulang,” jelas Nela padaku.
“Innalilahi wainna ilaihi rojiun. Kita gak bisa ngerjain tugas ini kalo Raven gak ada. Soalnnya, semua berkas- berkas hasil wawanncara kita kan Raven yang pegang. Yaudah, belajar kelompoknya  kita tunda  sampai Raven balik,” kataku pada Nela dengan nada yang sedikit pelan.
*****
Esoknya, aku tak jadi belajar kelompok untuk menyelesaikan tugas.Aku suntuk diam terus di kamar. Ku telfon Deva, pacarku dengan harapan akan hilang suntukku ini. Ku calling nomornya Deva berkali- kali, namun tak satupun terdengar suaranya di Hp- ku. Akhir-  akhir ini Deva sulit sekali kuhubungi. Kadang sms yang aku kirim padanya selalu tak berbalas. Aku tak terlalu marah padanya tentang hal itu, karena kupikir dia lagi sibuk. Maklumlah, dia  kan seorang pemain basket yang selalu tanding sana- sini. Tapi lama- lama aku tak membenarkan hal itu. Dia sangat keterlaluan. Tak pernah ia mengangkat telfon dariku.Kesabaranku mulai terkikis.
Semakin suntuk yang kurasa setelah kejadian tadi. Ku telfon Nela dengan harapan aku akan lebih baik. Nela menyamakan diri dengan Deva. Ia tak menjawab calling yang berkali- kali ku tujukan padanya. Kesabaranku terkikis lenyap oleh gelombang kekecewaan. Sungguh emosi diriku kini.
Ku putuskan untuk pergi ke rumahnya Nela. Namun, kaki ini serasa berat sekali ku langkahkan. Jangankan melangkah, mengangkat saja susah sekali rasanya. Tiba- tiba pula jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sungguh keras degupnya. Drumer handal pun kalah kerasnya. Sebuah firasat buruk sempat terlintas dalam diriku yang sedari tadi bediri terus di depan pintu rumah. Kekhawatiran mulai menyerbu pikirku. Ya Allah ada apa ini? Kataku dalam hati. Sempat kuurungkan niatku ke rumah Nela.Namun, hati kecilku terus mendesak untuk pergi.
Setiba di depan rumah Nela, kulihat sepasang sepatu yang kuberikan pada Deva saat ultah nya tertata rapi. Sepatu hitap berstrip guratan putih. Benar sekali, itu milik Deva, tak salah. Mengapa sepatu Deva ada disini? Apa dia ada di dalam sana? Tapi, untuk apa ia kemari? Bukankah ia sekarang sedang tanding di kota sebelah, seperti yang ia katakan padaku kemarin. Bertubi- tubi pertanyaan itu terucap dalam hatiku. Kulangkahkan kaki ku masuk ke dalam untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaanku tadi.
Mata ini langsung memerah padam. Hati ini serasa di tusuk pisau belati yang amat sangat tajamnya. Seluruh organ dalam tubuhku seakan terhenti dari segala prosesnya.Betapa tidak tercengangnya diri ini saat kulihat Nela, SAHABAT ku sejak kecil bercumbu mesra dengan Deva, KEKASIH ku. Kekasih yang teramat kucinta.Ya, Tuhan, kumohon ini hanya mimpi belaka. Tapi, baru kusadari kalau ini bukan mimpi. Mutiara tangis mengalir deras seketika itu juga.Nela dan Deva baru sadar kalau aku ada di belakakngnya setelah terdengar pecahnya toples berisi brownies yang kuniati akan dimakan bersama Nela. Tangis ini semakin deras mengalir.Ingin ku lempar pecahan beling ini ke muka mereka. Namun, kuurungkan itu. Tanganku terlalu berat menampung genggaman luka ini hingga tak kuat untuk mengambil secuil beling tajam di dekatku. Nela dan Deva tercengang saat melihat wajahku yang bermandikan air mata. Jika kuterawang, mereka sadar kini diriku lebih bermandikan luka karenanya.
Aku terus berlari membawa luka ini pergi dari pembuatnya. Aku tak ingin si pembuat luka akan menciptakan luka yang lebih dalam dari ini. Punggungku sungguh tak kuat menahan luka seberat ini. Di sela- sela isak tangisku terdengar sayup- sayup suara Nela yang terus memanggilku dari belakang sana. Saat aku sudah berbelok di sebuah perempatan, ku dengar suara hantaman mobil yang menabrak sesuatu di depannya. Sungguh keras hantaman itu. Sesaat kakiku terhenti karenanya. Teerhentinya kakiku seakan menarik otakku kembali terpikirkan pada Nela. Sayup- sayup suara Nela yang tadinya memangil- manggilku kini tak terdengar lagi. Namun, tetap melanjutkan lariku bersama luka ini. Luka yang tak kuharapkan kedatangannya.
******
Keesokan harinya aku semakin terpuruk dalam keterlukaan yang teramat dalam. Dalam sekali. Dan sungguh sangat perih untukku. Hatiku hancur berkeping- keping saat mendengar kabar tentang Nela, sahabat yang telah mengkhianatiku. Suara hantaman mobil yang kudengar kemarin adalah suara hantamannya  terhadap Nela. Dan kini Nela telah tiada. Nela tertabrak mobil saat mengejarku kemarin, Aku merasa sangat bodoh. Seharusnya aku berhenti berlari dan segera menghampiri Nela, serta dengan sabar mendengarkan penjelasan darinya tentang apa yang sebenarnya terjadi antara Nela dan kekasihku,Deva. Andaikan waktu mampu kuputar, aku akan mengubah  semuanya yang buruk itu.
Nela memang telah mengkhianatiku, Dia telah mendorongku masuk ke dalam jurang keterlukaan yang dalamnya tak tertandingi. Namun, sepasang sahabat . Kami telah terikat pada satu ikatan hati, hidup, dan jiwa. Segala kesalahan terbesar dari semua yang paling besar tetap tak mampu melepas ikatan persahabatan kami. Segala kesalahan terlalu ringan bila dibandingkan dengan kehebatan persahabatan kami. Aku telah kehilangan Deva karena Nela, itu merupakan satu dari  sederetan keterlukaanku. Aku pikir bila memang Deva dan Nela saling cinta aku akan memaksa kedua hati itu bersatu. Aku sangat mencintai Deva, namun  Deva jauh lebh mencintai Nela. Jika aku tau itu dari awal, akan ku lepaskan Deva untu Nela, karena melihat Deva yang tak cinta padaku harus tetap menuruti egoku  jauh lebih menyakitkan bila dibanding melepaskannya untuk sahabat sendiri. Memang menyyakitkan, namun itulah kehebatan cinataku untuk Deva, menyakitkan demi orang yang kita cinta adalah yang terbaik daripada melepaskanny selama- selamanya
Previous
Next Post »