Dan karena saya bukan pecinta Twilight, rasa kehilangan pada kisahnya di layar lebar tak sesentimentil saat saya berpisah dengan Harry Potter tahun lalu.
Tapi baiklah, sebelum yang lain-lain saya hendak tegaskan lebih dulu: Breaking Dawn – Part 2 adalah yang terbaik dari semua seri Twilight sebelumnya. Ibarat santapan, rupanya sineas film ini, Bill Condon (Dream Girls) menyajikan “save the best for last.”
Di film trakhir ini kita bertemu Bella (Kristen Stewart) yang lain, yang sudah berwujud vampir. “We’re in a same temperature now,” kata Edward (Robert Pattinson) suaminya yang sudah jadi vampir dari dulu. Selayaknya vampir, Bella punya kekuatan super, indera penciuman dan pendengarannya lebih peka, bisa lari secepat kilat, melompat setinggi pohon, serta memecahkan batu besar—mungkin hanya terbang dan mengeluarkan sinar laser dari matanya saja yang tak bisa dilakukan Bella.
Kita kemudian disuguhi Bella yang sudah jadi vampir mencari makan dengan memangsa hewan liar di hutan. Bagian ini masih terasa “sangat” Twilight.
Menginjak ke bagian ketika Bella tahu kalau Jacob (Taylor Lautner), manusia serigala yang pernah menjalin cinta segitiga antara Bella dan Edward, telah menjadi “imprint” dari putrinya, Renesmee, di sini filmnya mulai menghibur. (Oke, buat non fans Twilight [itu berarti termasuk saya], imprint adalah [saya kutip dari sebuah blog]: suatu perasaan sayang seseorang yang HANYA dengan melihat pada pertemuan pertama, langsung YAKIN kalau orang itu adalah SOULMATE-nya. Imprint ini biasa terjadi tepatnya pasti akan terjadi dan dialami oleh kaum werewolf, terlepas dari dia masih jomblo atau sudah punya kekasih.)
Bella murka ketika Jacob bahkan sudah punya panggilan sayang Nessie untuk Renesmee. “You nicknamed my daughter after the Loch Ness monster—Kau panggil putriku dengan nama dari monster Loch Ness?” Saya ngakak.
Di tengah ketegangan, Condon dan penulis skenario Melissa Rosenberg masih bisa menyelipkan humor macam begitu. Akhirnya, ada bagian Twilight yang mengena buat saya. Walau akhirnya, adegan adu panco Bella lawan Emmet kembali bikin saya sadar kalau ini memang film Twilight.
Breaking Dawn – Part 2 dibuat bareng dengan bagian pertama, persis seperti kisah Harry Potter terakhir yang dibagi jadi dua film. Saya masih menganggap alasan utama filmnya dibagi dua karena produsernya ingin menangguk untung lebih banyak dengan sekali syuting lalu dibagi jadi dua film. Bagaimana pun siapa yang tak tergoda untuk menangguk untung sebanyak-banyaknya dari franchise yang sejauh ini sudah mengumpulkan AS$ 2,5 miliar.
Saat mengulas bagian pertama dulu, saya bilang film pertama seharusnya bisa diceritakan dalanm waktu 50 menit. Waktu itu saya berpikir, segala drama yang menguras emosi dari buku terakhir sudah tersaji di film pertama (pernikahan, bulan madu, hamil, melahirkan, dan jadi vampir).
Apa yang tersisa pada film terakhir? Apa nanti juga akan dibuat bertele-tele kembali? Begitu tanya saya.
Filmnya, ternyata masih punya persoalan yang ingin diceritakan: nasib Renesmee, putri Bella. Sesosok vampir melihat Renesmee dari kejauhan, lantas melapor pada keluarga penguasa di kakangan vampir, Keluarga Volturi, kalau Renesmee manusia abadi, dan dengan demikian harus dimusnahkan menurut hukum yang berlaku di kalangan vampir.
Keluarga Cullen kemudian pergi ke berbagai tempat di dunia, mencari para vampir yang hendak bersaksi bahwa Renesmee bukan makhluk abadi, tapi setengah manusia-setengah vampir.
Keluarga Volturi dan pengawal mereka bertemu di padang salju berhadap-hadapan dengan keluarga Cullen, para vampir yang bersedia menjadi saksi bagi Renesmee, serta kawanan serigala jejadian.
Dari sini kemudian ceritanya mengalami kelokan alias twist. (SPOILER ALERT! Yang tak ingin tahu twist-nya silakan lewati dua paragraf berikut)
Keluarga Volturi dengan pasukannya dan Keluarga Cullen beserta vampir lain berikut kawanan seigala jejadian terlibat dalam perang besar. Kita menyaksikan satu demi satu keluarga Volturi mati, dan juga beberapa anggota keluarga Cullen, orang-orang yang sudah kita kenal sejak film pertama. Kepala mereka putus dari badannya dengan cara mengenaskan.
Sedikt banyak, pertempuran di padang salju itu mengingatkan saya pada bagian “Pertempuran Hogwarts” di kisah akhir Harry Potter. Namun, ada perbedaan mendasar antara pertempuran padang salju di Twilight dengan Pertempuran Hogwarts. Alih-alih membuat sedih, pertempuran besar-besaran di Twilight malah bikin penonton pada akhirnya tertawa ngakak, atau mungkin juga ada yang merasa tertipu karena sudah bersemangat dan nonton pertarungan seru eh, nggak tahunya…. Aduh, saya takut makin keceplosan.
(SPOILER berakhir di sini.)
Lantas saya berpikir, kenapa pula mesti ada kelokan cerita yang beda begitu?
Well, kesalahan utama tetap harus dialamatkan pada ibu Stephanie Meyer, sang pencipta kisah Twilight. Jika filmnya terlalu patuh pada novelnya, dengan ujung cerita sekadar membuktikan Renesmee makhluk abadi atau bukan, pasti filmnya bakal garing, banyak ngobrol.
Condon dan Rosenberg terbilang cerdas memikirkan akhir yang beda (terlepas Anda merasa ditipu atau tidak). Bagian yang beda dengan novelnya tersebut justru jadi puncak pencapaian film ini dari seri yang sudah-sudah. Sebab, pada akhirnya, penonton yang tak suka Twilight, mungkin para pria yang nonton sekadar menemani sang pacar/istri (atau saya yang menonton karena harus menuliskan review-nya), menemukan sesuatu yang bisa dinikmati dari film ini.
Persis di bagian akhir sekali (aduh, masak yang ini juga mesti saya bilang SPOILER ALERT!), ada semacam tribute untuk kisah yang sudah kita ikuti di layar lebar sejak 2008. Kita diajak mengenang perjalanan cinta Bella dan Edward.
Menonton bagian ini saya tersadar, mungkin saya memang tak bisa merasakan aura sentimentil hendak berpisah dengan film ini. Namun, bagi para remaja putri, para Twi-hard, inilah momen mereka berpisah dengan kisah yang mereka cintai. Tribute semacam itu, apalagi diiringi lagu “A Thousand Years”, tentulah memberi rasa haru. Bella dan Edward adalah karakter-karakter yang mereka cintai selama 5 tahun ini.
Seperti cerita dongeng yang berakhir “dan mereka hidup bahagia selamanya,” kata terakhir di novel Breaking Dawn, “forever” bergema di layar.
Dengan begitu, bagian akhir Twilight telah menunaikan tugasnya dengan baik. Baik pecinta Twilight atau bukan (seperti saya) keluar dari bioskop dengan perasaan sama puasnya karena sudah menonton film yang baik.
ConversionConversion EmoticonEmoticon